Article Detail
Bahasa Jawa, Antara Asa dan Fakta
Disusun oleh F. Pancawati Puji Rahayu
SMA Tarakanita Magelang
Salah satu muatan dalam kurikulum yang mengacu pada potensi daerah adalah pembelajaran Bahasa Daerah. Bahasa Jawa adalah salah satu bahasa daerah yang dimaksud. Faktanya Bahasa Jawa menjadi Mulok dalam struktur kurikulum di tingkat pendidikan SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA/SMK, bahkan di Provinsi Jawa Tengah menjadi mulok wajib bagi semua jenjang pendidikan. Penetapan Bahasa Jawa sebagai salah satu mata pelajaran muatan lokal (Mulok) dilakukan melalui Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor. 895.5/01/2005 tentang Kurikulum Mata Pelajaran Bahasa Jawa Tahun 2004 untuk Jenjang Pendidikan SD/SDLB/MI, SMP/SMPLB/MTs, dan SMA/SMALB/SMK/MA Negeri dan Swasta Propinsi Jawa Tengah (Pemprov Jateng, 2005).
Pembelajaran Bahasa Jawa berfungsi untuk memperkenalkan siswa mengenal dirinya dan budaya daerahnya. Hal ini dikarenakan bahwa dalam kurikulum pembelajaran bahasa, materi dikembangkan dengan tujuan untuk mempersiapkan peserta didik untuk menguasai kompetensi yang menjadikan mereka mampu merefleksikan pengalamannya sendiri dan pengalaman orang lain, mengungkapkan gagasan dan perasaan, dan memahami beragam nuansa makna dalam bahasa yang diajarkan (Anonim, 2004: 5). Peserta didik diharapkan mampu mengenal budayanya, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, membuat keputusan yang bertanggungjawab pada tingkat pribadi dan sosial, menemukan serta menggunakan kemampuan - kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam dirinya.
Bagi Budaya Jawa, Bahasa Jawa dimaknai sebagai wahana pembentukan karakter bangsa yang ditandai oleh sikap dan perilaku yang berdasarkan pada budaya dan adat istiadat Jawa serta aturan yang telah menjadi kesepakatan kolektif. Hal itu merupakan implementasi dari hasil pendidikan terutama hasil PBM (Proses Belajar Mengajar) bahasa dan sastra Jawa di sekolah (Prihatin, 2006: 7). Pembelajaran Bahasa Jawa pada dasarnya dapat dijadikan wahana
penanaman watak, pekerti, terutama melalui penerapan unggah-ungguh pada masyarakat Jawa serta memiliki peran sentral dalam pengembangan watak, dan pekerti bangsa. Pembelajaran Bahasa Jawa diharapkan dapat membantu peserta didik mengenal dirinya, lingkungannya, menerapkan dalam tata krama budayanya, menghargai potensi bangsanya, sehingga mampu mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat, dan dapat menemukan serta menggunakan kemampuan analisis, imajinatif dalam dirinya.
Namun faktanya, pembelajaran bahasa Jawa yang nota bene sebagai sarana pembentuk karakter bangsa sangat jauh dari apa yang diharapkan. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman dari penulis, yang terjadi sehari-hari antara lain tidak dipraktikkannya pelajaran bahasa Jawa dalam kehidupan nyata khususnya komunikasi. Jika diamati, jarang sekali kita menemukan peserta didik berkomunikasi dengan bahasa Jawa meskipun hanya dalam taraf basa ngoko . Mereka jarang, bahkan tidak pernah mempraktikkan pembelajaran bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua dan keluarga pun tidak membiasakan berkomunikasi dengan bahasa Jawa.
Sementara itu, kebanyakan guru yang mengampu mata pelajaran Bahasa Jawa di sekolah bukanlah guru yang berlatar belakang pendidikan Bahasa Jawa. Kepala sekolah terkesan memberikan tugas mengajar kepada guru pengampu Bahasa Jawa sekadar memenuhi jumlah jam wajib guru yang minimal 24 jam per minggu tanpa melihat dan memperhatikan kompetensi yang seharusnya dimiliki. Belum lagi persoalan media pembelajaran yang digunakan para guru itu sangat minim. Karena tidak kompeten, guru asal mengajar dan malas memakai berbagai media pembelajaran, apalagi memvariasikan model-model pembelajaran.
Apa yang terjadi jika situasi dan kondisi ini berlangsung di sebuah sekolah khususnya di jenjang SMP, SMA, MA, atau SMK? Berlangsung terus-menerus, sepanjang tahun ajaran. Katakanlah sejak tahun 2005 untuk tingkat SMA/MA/SMK ? Pedulikah kita ? Siapakah yang menjadi korban? Sebagai contoh, salah satu sekolah swasta di Kota Magelang yang tidak memiliki guru Bahasa Jawa. Guru mapel IPA harus mengampu pelajaran Bahasa Jawa. Alhasil, pembelajaran Bahasa Jawa diajarkan ala pelajaran IPA. Bahasa Jawa serasa IPA. Kaku, kering, monoton, dan menakutkan. Bagaimana dengan nilai akhir di rapor? Hanya 25% siswa yang tuntas. Siapakah yang bermasalah? Guru atau siswa? Jika fakta ini yang dialami oleh para siswa, niscaya Bahasa Jawa berubah menjadi bahan ajar yang asing dan sulit untuk dipahami.
Selain itu, perlu diketahui bahwa Bahasa Jawa memiliki gradasi atau tingkat- tingkatan yang tidak sederhana dalam pemakaiannya. Ada beberapa gradasi yang harus dipahami, yakni ada basa ngoko,krama, krama madya, krama inggil. Kenyataan ini yang menjadikan para siswa tidak mengerti dan akhirnya memilih menggunakan bahasa lainnya dalam komunikasi. Apalagi guru pengampu mata pelajaran Bahasa Jawa miskin kosa kata bahasa Jawa. Alhasil, proses pembelajaran berlangsung dengan banyaknya alih kode atau campur kode.
Belum lagi persoalan lain yang harus dihadapi oleh guru adalah latar belakang budaya para peserta didik yang multikultur. Tidak menutup kemungkinan bahwa sekolah memiliki siswa dengan latar belakang yang beragam baik suku, etnis, agama, maupun golongan. Bukankah kenyataan ini juga menjadikan persoalan tersendiri? Cara pandang siswa pun akan beragam. Bahkan, sebagian siswa mengutarakan bahwa pelajaran bahasa Jawa itu tidak penting. Lalu, bagaimana sebaiknya untuk menyikapi ini semua? Bukan hal yang mengada-ada, jika muncul keinginan dan harapan logis agar bahasa Jawa bisa menjadi mata pelajaran paling disenangi siswa di sekolah-sekolah. Kita perlu mengurai satu persatu persoalan yang mendera dalam proses pembelajaran bahasa Jawa.
Pembelajaran bahasa Jawa sebaiknya dibuat mudah atau gampang saja. Pembelajaran bahasa Jawa jangan dibuat sulit, tetapi buatlah menjadi mudah atau malah dipermudah. Dengan pembelajaran yang mudah, para siswa tidak menjadi takut, merasa senang, tidak menghindar, dan dapat fokus belajar. Pembelajaran yang mudah dapat menstimulasi para siswa menjadi aktif, tidak takut bertanya, rasa ingin tahu tinggi, dan motivasi belajar meningkat.
Prof. Dr. Suwarna, M.Pd., dalam pidato Ilmiah dalam acara Pengukuhan Guru Besar UNY yang berjudul Pembelajaran Bahasa Jawa Sebagai Media Pendidikan Karakter di Sekolah, menyampaikan bahwa ada tiga ciri khas atau roh kompetensi yang harus dimiliki guru bahasa Jawa yakni profesional, dapat membaca dan menulis aksara Jawa, dan nembang. Profesional yaitu memiliki unggah-ungguh yang mapan. Unggah-ungguh terbagi atas tata basa yaitu penggunaan undha usuk (stratifikasi) bahasa Jawa (ucap), dan tata krama yaitu perilaku yang njawani. Dengan menguasai tiga kompetensi ini, diharapkan guru lebih berhasil dalam mendidik karakter pembelajar.
Sikap positif terhadap bahasa Jawa perlu ditanamkan baik di rumah maupun di sekolah. Keluarga ikut bertanggung jawab dalam hal ini. Bukan sebaliknya, kadang orang tua justru meremehkan pelajaran bahasa Jawa. Melarang belajar bahasa Jawa dan menekan anaknya untuk belajar bahasa Inggris, matematika, atau mapel lain yang dianggap lebih penting. Oleh karena itu, sekaranglah saatnya, menanamkan sikap positif terhadap bahasa Jawa dengan cara mengaplikasikan dalam kehidupan baik di rumah maupun di sekolah.
Pembelajaran bahasa Jawa di sekolah perlu ditata dengan lebih terarah dan
dibuat lebih menyenangkan. Konsep ”lebih menyenangkan” sangat penting diperhatikan untuk memenuhi rasa kenyamanan dan menumbuhkan minat belajar siswa terhadap bahasa Jawa. Upaya kearah tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara atau teknik pengajaran efektif dan efisien. Memvariasikan model pembelajaran agar siswa bisa berproses dalam belajar. Salah satu teknik pembelajaran bahasa Jawa misalnya mengajak siswa untuk rekreasi. Siswa akan bergairah jika diajak berwisata. Misalnya mengunjungi pasar tradisional di dekat sekolah untuk melihat langsung barang dagangan berbau Jawa, seperti pakaian adat Jawa, blangkon, surjan, jarit,sindur, selop, dan kamus timang.
Dengan berwisata ke pasar tradisional ada pelajaran yang cukup berharga. Siswa akan banyak bertemu langsung dengan para pedagang yang umumnya sebagai penutur asli. Ajak para siswa untuk berdialog. Dengan praktik langsung ini akan melatih siswa dalam menerapkan pelajaran bahasa Jawa yang sudah diajarkan di sekolah. Kelucuan-kelucuan dalam berdialog pasti akan terjadi. Namun, ini justru yang akan diingat siswa. Mereka menjadi tidak canggung dan malu dalam berdialog dengan para pedagang di pasar tradisional tersebut.
Teknik bercerita bisa digunakan para guru dalam mengajar bahasa Jawa. Pada umumnya, para siswa akan tertarik dengan sebuah cerita. Siapa sih yang tidak suka dengan cerita/dongeng meskipun siswa sudah di jenjang SMA ? Contoh sederhana saja ketika guru akan mengajari siswa menulis aksara Jawa, guru bisa mengawali dengan sebuah cerita bahwa aksara Jawa yang berjumlah 20 itu memiliki makna filosofis bagi insan yang hidup di dunia ini. Adapun ajaran / filsafat yang termuat berdasarkan aksara Jawa adalah sebagai berikut.
Ha – na – ca – ra – ka , berarti ada utusan. Manusia hidup itu diutus minangka titah Allah. Da – ta – sa – wa – la , berarti manusia setelah cinipta, sampai tiba saatnya tinimbalan ( da – ta ) tidak bisa sawala / menolak, kudu ndherek dhawuhing Gusti. Pa – dha – ja – ya – nya, berarti manunggale kawula Gusti , pa – dha, jumbuh / cocog, manusia diciptakan Tuhan berdasarkan citra – Nya. Ja – ya – nya itu unggul. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang tertinggi derajadnya. Ma- ga – ba – tha – nga, berarti menerima semua kehendak Allah. Pasrah sumarah marang garising pepesthen/ kodrat, meskipun manusia diberi wewenang untuk berupaya. Jika guru menjelaskan dengan luwes dan canthas, niscayajiwa anak didik, akan terbius dan sedikit demi sedikit mengagumi keagungan pembelajaran bahasa Jawa.
Teknik lain yang bisa diandalkan dalam belajar bahasa Jawa adalah bermain. Meskipun para siswa sudah SMA/SMK, secara alami mereka akan senang dan bahagia jika diajak bermain. Contoh saja ketika harus mengajarkan materi parikan dan wangsalan, guru bisa ajarkan dengan permainan. Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok kecil. Mereka berkompetisi, saling berbalas parikan. Salah satu kelompok membuat sampirannya dan kelompok lain melanjutkannya. Atau membuat parikan utuh. Kegiatan ini pasti cukup membuat gaduh. Canda tawa dan senda gurau pasti akan mewarnai kegiatan pembelajaran. Para siswa akan berpikir keras menemukan kosa kata Jawa yang cocok. Dengan sendirinya kegiatan ini justru menambah perbendaharaan kata mereka.
Untuk memperkaya kosa kata siswa, guru perlu kreatif mencari artikel-artikel berbahasa Jawa baik ngoko maupun krama misalnya dari Mekar Sari yang terdapat di harian Kedaulatan Rakyat, setiap hari Minggu. Membiasakan siswa membaca media berbahasa Jawa seperti Djoko Lodhang juga bisa membantu siswa dalam menambah wawasan dan kosa katanya. Siswa diminta menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Sebaliknya juga artikel berbahasa Indonesia diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa, baik ngoko maupun krama. Dari kegiatan ini siswa terlibat aktif.
Untuk memahami budi pekerti luhur yang terkandung dalam budaya Jawa, guru bisa mengajak para siswa untuk menikmati drama berbahasa Jawa atau kethoprak. Pilihlah cerita yang mudah dipahami. Tidak menutup kemungkinan kethoprak bocah yang ditayangkan justru bisa membantu siswa dalam memahami dialog-dialog. Selain cerita dari kethoprak, guru bisa memperkenalkan cerita wayang. Pilihlah wayang orang agar tidak membosankan. Melalui pemutaran cerita wayang itu ada banyak hal yang dapat dipetik siswa, selain belajar memahami dialog berbahasa krama alus dan belajar memahami budi pekerti luhur dari kesatria Pandawa, mereka juga mulai mengenali budaya Jawa yang kini mulai ditinggalkan kaum muda.
Sering mengikutsertakan peserta didik dalam berbagai lomba bahasa Jawa juga akan menambah rasa percaya diri dan cinta siswa kepada bahasa Jawa. Misalnya lomba membaca cerkak, menulis cerkak, nembang macapat, geguritan. Dengan cara ini, dengan sendirinya siswa akan jatuh cinta dengan pelajaran bahasa Jawa. Apalagi jika mereka bisa meraih kejuaraan. Tidak juara pun pasti ada rasa bangga menyusup di hati para siswa.
Kegiatan yang tidak kalah pentingnya adalah guru bahasa Jawa hendaknya mengikuti kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Kegiatan ini terbukti efektif untuk saling melengkapi kompetensi masing- masing guru bahasa Jawa. Saling berdiskusi, bertukar ide dalam menghadapi peserta didik yang tentu saja berbeda-beda. MGMP memang disarankan oleh MKKS ( Musyawarah Kepala-Kepala Sekolah). Karena melalui MGMP, guru diperkaya oleh teman guru lain yang mungkin lebih menguasai bahan ajar atau metode yang tepat dalam mengajar mata pelajaran bahasa Jawa.
Dengan cara-cara konkret tersebut, harapannya kondisi pembelajaran bahasa Jawa bisa berubah. Kondisi dan pola pembelajaran bahasa Jawa yang saat ini masih menempatkan sebagai materi untuk dipelajari bisa berubah menjadi pelajaran yang digunakan dalam kehidupan siswa itu sendiri. Harapannya Bahasa Jawa bisa menyatu dengan para siswa karena mereka adalah pemilik asli bahasa Jawa. Para siswa akan berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Suasana pembelajaran yang cair, ringan, dan menyenangkan. Akhirnya, maksud pemerintah, dalam hal ini Gubernur Jawa Tengah yang bercita-cita membumikan budaya Jawa dalam pembelajaran bahasa Jawa untuk siswa SMA/SMK se- Jawa Tengah akan terwujud. Asa yang tidak sesuai fakta, kian lama kian retas. Semoga.
****************
-
there are no comments yet